Jumat, 25 April 2014

Jagalah otak anak-anak kita!


    


Terus terang sayang dibuat speechless sesaat setelah mendengar penjelasan dari bunda Elly Risman, seorang psikolog parenting di acara Hitam Putih edisi 24 April 2014 ini. (Menghela nafas panjang).

[TIPS PARENTING] Mendidik Anak Wanita

Ditulis oleh Bendri Jaisyurrahman melalui akun twitternya, @ajobendri.
  1. Berbahagialah orangtua yang dikaruniakan anak wanita sebab Rasulullah SAW telah menjamin baginya surga jika sabar dan sukses mendidiknya
  2. Barangsiapa yang diuji dengan memiliki anak wanita, lalu ia asuh mereka dengan baik, maka anak itu akan menjadi penghalangnya dari api neraka. (HR.Bukhari)
  3. Sebagian orangtua menganggap remeh mendidik anak wanita, bahkan lebih mengunggulkan anak laki. Padahal wanita adalah tiang peradaban dunia
  4. Itulah kenapa, jika gagal mendidik anak wanita berarti kita telah memutus kebaikan untuk generasi masa depan
  5. Gagal mendidik anak wanita berarti kelak kita akan kekurangan ‪#‎IbuBaik‬ di masa depan. Dan ujung-ujungnya rusaklah masyarakat

Selasa, 22 April 2014

Budaya Menghukum dan Menghakimi Para Pendidik di Indonesia

Sumber: dokumen Rumah Perubahan

Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”

“Dari Indonesia,” jawab saya.

Dia pun tersenyum.